Tidak hanya cuaca yang panas yang dirasakan oleh masyarakat Bekasi tapi suhu politik pun mulai memanas dengan gemuruh tinggi rendahnya suara menggelegar dari tiap sudut Kota Bekasi. Gemuruh aksi demonstrasi pun mulai sering terlihat, yang dilakukan oleh masyarakat Kota atas hak interpelasi yang ingin dilakuakan oleh anggota DPRD Kota kepada plt Walikota Bekasi. Hadirnya riuh rendahnya iklim politik saat ini disebabkan karena adanya tarik menarik kepentingan antara pemerintah Kota Bekasi yang diwakili oleh Plt Walikota Bekasi dengan Anggota DPRD khususnya komisi A yang membidangi urusan Pemerintahan. Dengan surat cinta yang diberikan oleh anggota DPRD kepada Plt Walikota Bekasi yang berisi tentang pemanggilan atas permasalah mutasi dan rotasi kepemimpinan yang dilakukannya didalam lingkungan pemerintahan Kota yang mencakup dalam wewenangnya terhapad kepemimpinanya.
Jika ditelah mengenai keabsahan plt Walikota terdapat persetujuan dari menteri dalam negeri dengan mengeluarkan surat Keputusan Mendagri No. 131-32-308 Tahun 2011, yang isinya tentang penunjukan atas wakil Walikota untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bekas. Lalu, diperkuat kembali dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 pada Pasal 34 poin 1 yang menjelaskan tentang pergantian rotasi kepemimpinan dan hak seorang wakil terhadap tugasnya dalam menjalankan kinerjanya seorang kepala daerah, bunyi Pasal tersebut ialah Apabila kepala daerah diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5); wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maka jika ditelaah kembali bunyi Pasal tersebut “bahwa wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah”, selain itu, dalam PP No 6 Tahun 2005 pada Pasal 130 poin 1 pun sama menjelaskan bahwa “bahwa wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Untuk itu, tidak ada alasan logis lagi bagi anggota dewan untuk mempertanyakan kembali wewenang yang dilakukan oleh plt saa ini, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan keputusan mendagri telah memberi penjelasan kekuatan hukum terhadap wewenang yang dilakukan oleh Plt Walikota Bekasi. Jadi, sudah selayaknya bahwa seorang wakil Walikota berhak menjalankan tugasnya sebagai seorang Walikota, bilamana Walikota tersebut terjerat oleh urusan hukum. Sungguh lucu jika anggota dewan masih saja mempertanyakan kembali atas kewenangan plt melalui hak interpelasi. Justru dengan adanya hak interpelasi itu menjelaskan bahwa anggota dewan tidak memahami mekanisme yang telah ada dan dengan adanya hak interpelasi dapat menghabiskan anggaran DPRD dalam masa jabatan yang saat ini dijalankan.
Memang dibenarkan tentang hak interpelasi yang dimiliki oleh tiap individu anggota dewan terhadap permasalahan yang terjadi khususnya di lingkungan daerah karena hak interpelasi itu diatur dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang hak yang dimiliki oleh anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Melalui Pasal 349 pada point 2 yang menjelaskan tentang hak untuk meminta tanya keterangan terhadap bupati/Walikota mengenai kebijakan yang telah dilakukan. Jika menelaah tentang Undang-Undang ini, secara tidak langsung anggota dewan telah mengakui bahwa adanya pengangkatan atas wakil Walikota yang saat ini menjadi plt Walikota. Karena didalam Undang-Undang ini dijelaskan bahwa hak meminta keterangan tersebut ditujukan kepada Walikota bukan kepada wakil Walikota sehingga tanpa disadari oleh anggota dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi menstujui adanya status kepemimpinan yang dimiliki oleh plt Walikota Bekasi saat ini.
Berbicara tentang kewenangan yang ada tentang plt Walikota saat ini pun memiliki kekuatan hukum, jika di tinjau dari Peraturan Pemerintah No 100 Tahun 2000 pada Pasal 4 point 1 yang menjelaskan tentang adanya tugas dari pejabat yang berwenang untuk mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural.
Secara konsep wewenang atau kewenangan adalah suatu kekuasaan yang formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang yang dilakukan oleh pejabat tertentu yang berada di lingkungan eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu . Sehingga wewenang melekat secara utuh dari seseorang yang berada didalam sebuah jabatan yang dimilikinya. Selain itu, ada 2 cara seseorang memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan pelimpahan wewenang. Atribusi dapat diartikan sebagai Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organisasi pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar-dasar konstitusi (UUD) atau peraturan yang berlaku. Berbeda dengan pelimpahan wewenang terdapat 2 cara dalam memperoleh wewenang, yaitu : delegasi dan mandat. Delegasi biasanya diberikan antara organ pemerintah satu dengan organ pemerintah lain, dan biasanya pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang atau adanya pengakuan pengalihtanganan yang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan mandat biasanya diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan dengan bawahan dan dalam mandat ini pun pengakuan atas wewenang atau pengalihtanganan kewenangan yang diberi mandat hanya bertindak untuk dan atas nama yang memberikan mandat. Maka, dapat kita tarik benang merah bahwa wewenang yang dimiliki oleh plt Walikota saat ini merupakan wewenang dalam bentuk atribusi yang menunjuk pada kewenangan yang dibentuk atas Keputusan Mendagri No. 131-32-308 Tahun 2011 atas kekosongan yang saat ini terjadi bukan atas pelimpahan wewenang yang begitu saja tanpa ada aturan hukumnya. Dan kewenangan ini pun diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No 100 Tahun 2000 atas tugasnya dalam menciptakan pemerintahan yang lebih baik.
Berarti cakupan kewenangan dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya adalah seluas tugas dan wewenang Walikota. Jadi, dilihat dari tugas dan kewenangannya, plt Walikota saat ini adalah “Walikota Bekasi” meski dengan embel-embel “Plt” sementara. Dalam posisi yang demikian, secara normatif tugas dan wewenang Pak Rahmat Effendi sesuai Pasal 25 UU No. 32/2004 adalah :
1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
2. Mengajukan rancangan Perda;
3. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
5. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
6. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan.
Sungguh ironi jika melihat kondisi sosial-masyarakat Kota Bekasi saat ini, mengapa? Karena masyarakat disibukkan oleh isu-isu yang tidak seharusnya ada. Bukan isu tentang kebutuhan masyarakat yang murah melainkan Isu tentang hak interpelasi terhadap mutasi dan rotasi yang dilakukan oleh plt Walikota di lingkungan pemerintahan. Jika dilihat dari tugas dan fungsi kerjanya, maka mutasi dan rotasi itu merupakan hak prerogratif pemerintah (plt Walikota) dalam menjalankan kinerja khususnya dalam menciptakan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Anehnya, dari penjelasan salah satu anggota dewan, alasan adanya hak interpelasi karena adanya aduan dari pejabat-pejabat pemerintahan yang di mutasi, yang merasa dirinya terancam atas jabatan yang saat ini melekat didalam dirinya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa isu ini hanya untuk elit pejabat saja yang tidak berdampak pada murahnya kebutuhan pokok masyarakat KotaBekasi, masih adanya pihak-pihak yang merasa terancam atas jabatan dan di “iya” kan lagi oleh anggota dewan. Sungguh aneh, giliran hak jabatannya terancam saja para pejabat tersebut bersuara tapi jika masyarakat yang bersuara tentang kesenjangan yang terjadi terhadap kebutuhan pokoknya tidak pernah tanggapi bahkan dihiraukan. Sungguh ironi kondisi saat ini yang melanda masyarakat Kota Bekasi dengan diperparah oleh tingkat kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat.
Entah, keinginan apa para anggota dewan terhadap haknya untuk menanyakan kepada plt Walikota atas kinerjanya? Kabar dari kabar sih, anggota dewan ingin menanyakan tentang mutasi dan rotasi kepemimpinan di lingkungan pemerintahan Kota yang dilakukan oleh plt Walikota yang disinyalir menyalahi aturan. Padahal kalo di telah dari yurispudensinya plt Walikota memiliki hak untuk memutasikan dan merotasi kepemimpinan karena sudah disetujui oleh mentri dalam negeri atas kekosongan yang terjadi karena adanya permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan Bekasi dengan berubahnya status Walikota menjadi tahanan. Ironi, jika permasalahan ini berlarut-larut karena akan berdampak pada stbilitas sosial yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat Kota Bekasi. Dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat Kota Bekasi ialah terjadi pro-kontra antara wacana yang digulirkan oleh anggota dewan tersebut. Jika tidak disegerakan maka akan terjadi konflik horizontal dan mengakibtakan perpecahan antara kubu masyarakat. Tidak hanya itu permasalahan yang terjadi, tapi menambah apatisme masyarakat atas kinerja yang akan memperlambat laju partisipasi masyarakat terhadap program-program yang ingin dilakukan oleh perangkat-perangkat pemerintah. Banyak anggapan bahwa adanya interpelasi karena terancamnya golongan tertentu atas hak-hak yang dimiliki sebelumnya. Entah, hak proyek pembangunan ataupun hak-hak yang lainnya, apakah benar seperti itu? Jika benar, dapat dilihat bahwa hak interpelasi ini tidak seharusnya ada, karena sudah jelas secara yurispudensi wakil Walikota telah kuat karena didukung oleh menteri dalam yang merekomendasikan ke pada pemerintah provinsi jawa barat untuk segera mengangkat status kepemimpinannya untuk sementara waktu menggantikan Walikota yang sedang tersangkut kasus korupsi. Tampaknya tidak aneh dengan alasan ini karena jika berlarut-larut adanya kekosongan kepemimpin maka pelayanan kepada masyarakat pun akan jalan di tempat bahkan berhenti.
Daftar Referensi
1. Undang-Undang No 32 Tahun 2004.
2. Undang-Undang No 27 Tahun 2009.
3. Peraturan Pemerintah No 100 Tahun 2000.
4. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005
5. Disini
6. Disini.
[1] http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Pelimpahan_we2nang.pdf